Jumat, 30 April 2010

Membaca; Sebuah Warisan Peninggalan Gus Dur Bagi Kita


Bagaimana Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) menjadi Gus Dur yang kita kenal saat ini? Pertanyaan inilah yang cukup menggelitikku ketika kembali mengenang sosok Gus Dur. Ada banyak sisi kita bisa melihat hal itu. Selain Gus Dur menurutku adalah manusia mutidimensional dengan begitu banyak sekali dimensi-dimensi dari beliau yang dapat dibaca, juga memang ada banyak hal yang membuat Gus Dur ditakdirkan yang Maha Kuasa untuk menjadi orang besar. Misalnya saja, dari sisi garis keturunannya. Kita bisa melihat bahwa Gus Dur lahir dari sebuah keluarga dengan label “Orang Besar”. Sebut saja K.H. Abdul Wahid Hasjim, yakni ayah Gus Dur, tercantum sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. Semasa hidupnya beliau pernah menjadi salah satu menteri pada kabinet pertama Indonesia, yang dipimpin Soekarno. Kemudian, K.H. Hasyim Asy’ari dan Kyai Bisri Syansuri, keduanya adalah kakek Gus Dur, orang-orang yang banyak berjasa besar atas berdirinya NU (Nahdlatul Ulama). Dengan trah Kyai yang melekat pada dirinya, dan hal itu secara turun temuruh tradisi intelektualnya terbukti terjaga, Gus Dur memang pantas menjadi orang besar.

Selain dari garis keturunan, kita dapat melihat bagaimana sosok Gus Dur besar, dan ini menurut saya menjadi bagian penting dari karir intelektual Gus Dur, adalah tradisi membaca buku yang sepertinya tak bisa lepas dari sosok ini. Gus Dur itu kutu buku, super kutu buku bahkan. Dari orang-orang tedekatnya kita dapat tahu akan kebiasaan Gus Dur sejak kecil yang suka sekali membaca. Menurut pengakuan Gus Sholah, Gus Dur itu sejak kecil telah mengenal buku-buku tebal yang sebenarnya belum waktunya bagi seorang anak untuk membacanya. Dari kecil, telah menjadi sebuah kebiasaan bahwa buku-buku yang dihadapi Gus Dur banyak yang cukup rumit. Hal inilah yang membuat mudah bagi Gus Dur di kemudian hari untuk memahami gagasan sebuah buku dengan cepat. Yah, sejak kecil memang beliau sudah menghadapi itu.

Greg Berton, meski tak detail cukup memberitahukan pada kita bahwa Gus Dur memang mempunyai kebiasaan membaca yang luar biasa. Sewaktu mudanya beliau dikenal sebagai santri “mbeling”. Jarang masuk ngaji dan pelajaran di kelasnya. Tapi tentu sikap itu tak menjadi sikap dan tindakan yang tanpa imbangan, nakal tak sekedar nakal. Meski jarang masuk ngaji dan pelajaran, Gus Dur selalu membaca kitab-kitab terlebih dahulu yang diajarkan di sekolahnya. Oleh karena itu, pelajaran itu tetap dikuasainya meski jarang hadir di kelas. Bahkan, boleh dikatakan penguasaannya akan kitab-kitab yang diajarkannya itu melebihi guru-guru yang mengajarnya.

Kepergian Gus Dur ke Mesir, untuk kuliah al-Azhar, meski seperti yang digambarkan Berton sebenarnya memberi kekecewaan pada Gus Dur, tapi ada sisi lain yang dapat kita lihat. Gus Dur semakin mempunyai banyak waktu untuk membaca dan membaca. Apalagi, di Mesir dengan kampus tertuanya ini telah melahirkan tradisi membaca yang baik, tak pelak di negeri ini Gus Dur menemukan ‘surga’, yang mungkin akan cukup sulit ditemukan di Indonesia. Macam-macam buku bacaan untuknya tersedia di sini. Boleh dikatakan waktu luang, karena Gus Dur lebih jarang masuk kuliah, tak terbuang percuma bagi Gus Dur. Membaca dan membaca literature yang ia inginkan, termasuk yang berbahasa Prancis.

Gus Dur bertahan beberapa tahun di Mesir, sebelum akhirnya pindah ke Irak, menetap di Bagdad. Di kota Kosmopolitan pada masanya sebut Berton dalam buku biografi tentang Gus Dur yang ditulisnya. Kebiasaan Gus Dur, membaca buku sepertinya memang tak lekang oleh keaadaan. Praktis di kota ini Gus Dur lebih banyak memiliki tantangan dalam menapaki karir intelektualnya. Membaca buku tetap menjadi sebuah rutinitas baginya, meski waktu yang dimilikinya tak lagi banyak seperti di Mesir. Kuliah di Universitas di Bagdad tak memungkinkan hal itu terjadi. Kini Gus Dur harus benar-benar mengikuti kuliah, atau memilih dicabut beasiswa yang diperolehnya jika mengabaikan hal itu. Belum lagi Gus Dur harus bekerja part time waktu itu untuk menambah pemasukannya. Luar biasanya kebiasaan membacanya masih saja berlanjut. Dan wajarlah, kalau wawasan Gus Dur sedemikian luasnya sampai kini kenal beliau sebagai tokoh yang demikian.

Membaca sosok Gus Dur dari sisi ini, lantas melihat dunia intelektualitas saat ini, tentu ada semacam keprihatinan hadir. Tradisi membaca di dunia kampus, atau bahkan di Indonesia saat ini begitu redup untuk dapat dikatakan hidup. Dan wajarlah kalau kemudian kita dapati para intelektual yang dimiliki negeri ini di antaranya ada yang melakukan “kejahatan” dengan mengambil hak intelektual milik orang lain sebagai miliknya. Tradisi membaca itu, entah luntur atau entah memang belum pernah hadir di negeri ini. Dapat di sebut luntur karena hadir intelektual-intelektual yang ternyata memiliki tradisi ini. Dan dapat dikatakan tidak pernah hadir, dalam hal ini tradisinya, karena sampai saat ini bangsa kita masih terkenal dengan tradisi tuturnya, sehingga apapun diomongkan. Sedang fenomena Gus Dur yang begitu rajin membaca, Cak Nur, atau intelektual lainnya, adalah sebuah kelainan dalam sejarah sebuah bangsa yang bernama Indonesia ini. Hadir atau tak hadir tradisi itu, membaca bagi seorang intelektual adalah sebuah keharusan. Dan Gus Dur menjadi orang besar dengan membaca, salah satu caranya. [Jum’at 30 April 2010, Kay]